Gelar Wicara di Museum Aceh

Awal Oktober 2018 lalu, dalam rangka memperingati hari Museum Nasional, saya diminta panitia Museum Aceh untuk menjadi pembicara. Berikut ini adalah isi yang saya sampaikan kepada teman-teman muda pada 12 Oktober 2018 di Banda Aceh.

 

***

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Saya merasa tersanjung, merasa terhormat, dan sekaligus merasa terbeban. Merasa terhormat karena diberikan tempat untuk berbicara. Bertahun-tahun yang lalu saya duduk di sana; mendengar orang-orang berbicara terkadang sambil mengernyitkan dahi. Sekarang saya berdiri di panggung ini. Didengar memang sebuah anugerah. Anda dapat membayangkan betapa menyedihkan hidup seorang standup comedian, seorang penyanyi, seorang penceramah, dan penyiar, jika tanpa ada pendengar. Memang pembicara perlu untuk acara seperti hari ini tetapi pendengar juga penting. Maka saya berterimakasih mendalam. Tanpa kehadiran kalian, ini hanya celoteh kosong yang tak bernilai.

Lagi-lagi ini tidak ringan. Saya diminta berbicara tentang tema Sejarah, Kebudayaan, dan Kemajuan Aceh. Ini tidak mudah. Berbicara tentang kemajuan diri sendiri saja saya masih terbata-bata. Ini tidak seperti permainan di sirkus di mana kenyataan bapat disulap dengan sekali membalik tangan. Anda tentu tidak dapat sekonyong-konyong melihat Aceh berubah setelah mendengar gelar wicara saya ini.

Maka sebagai ganti, saya lebih ingin bercerita saja. Konon Human is animal story. Manusia adalah makhluk cerita. Saya sendiri juga sangat senang pada cerita-cerita. Saya membaca, menerjemah, dan menulis cerita. Tetapi yang akan saya ceritakan ini adalah cerita pribadi; percikan memori yang saya alami sendiri dan mungkin berguna untuk dibagi. Saya terkadang membayangkan manusia itu seumpama sebuah hardisk. Di dalamnya ada ratusan file cerita terekam. Ada puluhan “film” yang bisa bermakna jika diputar kembali.

Tahun lalu saya ke Spanyol. Saya turun dari bus dan menghirup udara siang Cordoba. Cuacanya panas, sekitar 36 derajat celcius. Saya mendapati orang-orang ramah terhadap siapa saja. Di mana-mana mereka berkumpul dan tertawa. Saya merasa seperti pulang dan seperti melihat orang ngopi di Aceh. Spanyol punya warna khas dibanding dengan beberapa negara Eropa lain yang ‘dingin’.

Saya menyewa sebuah hostel murah tidak jauh dari Katedral Mezquita. Di kamar, saya bertemu anak muda Jerman. Mereka datang berdua dan saya sendirian. Saya menjabat tangan mereka dan mulai berbagi. Saya bertanya pengalaman mereka sebagai Jerman. Dan mereka mulai mengurai masa lalu hingga pembicaraan tertumpu pada Fuhrer alias Hitler.

Kita tahu bahwa di antara tujuan yang ingin dicapai Hitler adalah pemurnian ras arya, ras terbaik yang pernah ada menurut mereka. Bangsa pilihan. Mereka ingin tunggal. Banyak yang bersyukur sebab mereka menghabisi Yahudi. Tetapi apa yang sebenarnya terjadi adalah mereka ingin tunggal dan menganggap diri sebagai ras pilihan yang artinya menjadi rasis terhadap tidak hanya kepada yahudi tetapi termasuk arab, semit.

Tidak ada yang baru dari mereka tentang cerita Hitler. Tetapi saya tertarik mengetahui bagaimana mereka, sebagai Jerman, memandang Hitler dan masa lalu mereka sendiri hari ini. Kedua pemuda tadi, sebagaimana beberapa orang Jerman lain yang pernah saya temui, berkata hal serupa terkait sejarah mereka, “Itu memalukan sekali! Sekarang bahkan ketika kami tidak suka pada seseorang di antara kami, kami berujar begini, You are so german, kalian begitu jerman, dengan konotasi merendahkan. It’s shameful!”

Berpuluh-puluh tahun sebelumnya, di zamannya, Hitler disanjung-puji. Ia diangkat bak pahlawan dan gagasannya untuk pemurnian ras dianggap sesuatu yang agung dan mulia. Mulai dari filsuf, sejarawan, ilmuan, intelektual, akademikus dan barangkali juga agamawan bekerja mendukung gagasan ini. Mereka bahu membahu membantu Hitler untuk meraih prestasi sebagai pembunuh terbanyak di abad 20.

Dan tahukah anda siapa yang juga menjadi juara selanjutnya? Adalah negara kita, Indonesia; di bawah diktator Soeharto (tapi tampaknya kita belum malu ya, hehe …).

Teman-teman yang baik,

Berjalan dengan jarak 12.602 kilometer ke arah timur Jerman, anda akan tiba di tempat di mana anda sedang duduk saat ini. Sebuah wilayah di paling ujung Sumatera, Aceh. Ada ragam cerita lain di sana. Salah satunya adalah apa yang saya saksikan sendiri sekira delapan tahun silam.

Sore itu saya duduk di sebuah café di bantaran sungai Lamnyong sambil menyesap segelas robusta. Saya mendengar seorang anak muda berbicara dengan orang kulit putih dengan bahasa asing yang sangat fasih. Saya menangkap, ada pride di sana. Ada sebuah kebanggaan.

Berselang beberapa bulan setelah itu, saya menemukan sebuah buku karya Zentgraf, seorang tentara dan wartawan belanda yang mencatat peristiwa perang Aceh. Ada satu bab berbicara tentang perempuan Aceh. Ia mengisahkan seorang perempuan yang baru saja menikah. Suatu hari suaminya pergi ke dekat markas belanda dan berbicara dengan orang kulit putih. Ketika si suami pulang ke rumah, si perempuan langsung berkata, “Kau bukan suamiku lagi!” Berbicara dengan kulit putih kala itu adalah sebentuk pengkhianatan, sebuah kehinaan.

Kita dapat memperoleh gambaran dari cerita perjalanan manusia pada dua waktu yang berbeda ini. Sikap anak muda Jerman sekarang terhadap sejarah mereka tidak sama dengan sikap orang-orang Jerman di masa Hitler. Di Aceh, ada suatu masa ketika anda duduk dan berbicara dengan orang kulit putih adalah sebuah kehinaan. Di kemudian hari, anak muda berbicara dengan orang kulit putih adalah sebuah pride.

Ada perbedaan bukan? Tetapi hari ini saya tidak ingin mengajak kita untuk menilai baik dan buruk. Apalagi sekonyong-konyong mengatakan bahwa generasi sekarang lebih buruk. Faktanya adalah di setiap generasi ada orang baik dan ada orang yang buruk. Alih-alih menjadi hakim, saya lebih senang mengajak kita merenungi kisah perjalanan umat manusia  dari belahan dunia mana pun, untuk belajar dari siapa pun.

Seseorang dari Asia Minor bernama Heraclitus mengutarakan kata-kata terkenal, Panta Rhei. Segalanya mengalir. Seorang bijak dari Timur memperkenalkan konsep annicca alias the law of impermanence atau hukum ketidakkekalan, bahwa segalanya mengalir, semuanya berubah. Zaman menggelinding, peristiwa bergulir, figur-figur muncul tenggelam, cara pandang, sikap, dan cara memberi nilai terhadap kenyataan bertumbuh. Adalah kodrat alam untuk bergerak dan terus mengalir.

Lantas, di tengah arus perguliran waktu ini, bagaimana seharusnya kita melihat yang telah lewat? Apakah kita ingin kembali ke masa lalu atau bergerak menuju masa depan? Apakah kita ingin pemurnian seperti yang dilakukan Hitler, misalnya dengan menjadi bangsa teuleubeh atau menjadi tunggal dalam hal lain dengan menyingkirkan golongan berbeda dengan kita? Atau kah membuka celah ruang untuk belajar dari satu sama lain?

Saya sangat senang dengan cerita yang satu ini. Sebuah alegori yang ditulis Plato, the myth of the cave atau mitos goa. Syahdan, dalam sebuah goa ada sekelompok manusia yang sudah tinggal lama di sana. Setiap malam mereka berkumpul dan menghadap dinding, melihat dan menikmati bayang tangan bergerak di dinding goa. Saya membayangkan keasikannya barangkali seperti kita menonton bioskop hari ini.

Kumpulan orang dalam goa percaya bahwa gerak tangan dan cahaya itu memang muncul dari dinding. Mereka menyangka dan percaya begitulah kenyataan. Lalu, pada suatu malam salah seorang dari mereka memberanikan diri keluar dari goa. Ia tersadar ternyata ada api unggun di luar, di mulut goa. Dan dari sanalah bayang-bayang di dinding itu berasal. Ada yang menggerakkan-gerakkan tangan dari luar.

Ia lalu masuk kembali ke dalam goa dan memberitahukan kepada orang-orang bahwa cahaya di dinding ini hanya pantulan saja. Ada api di luar sana. Ada orang yang menggerak-gerakkan tangan untuk memunculkan bayang di dinding. Tetapi orang-orang di dalam goa marah. Mereka merasa anggapan-anggapan mereka selama ini telah diganggu. Mereka menuduhnya membawa aliran baru sebab ia terlalu lama di luar.

Begitulah di antara tabiat manusia dalam melihat kenyataan. Walau dari lingkar kebudayaan mana pun di dunia, kecenderungan ini selalu ada. Seringkali mereka merasa yakin sudah melihat dengan benar dan percaya bahwa cahaya muncul dari dinding. Mereka terjebak dalam cakrawala berpikir sendiri. Pandangan-pandangan mereka terantai dan mereka terperangkap dalam ilusi.

Dalam lakon kehidupan kita hari ini, barangkali mereka yang bermain di api unggun dan menggerak-gerakkan tangan membentuk ilusi di dinding goa itu adalah para politikus dan orang-orang yang mereka manfaatkan mulai dari seniman, agamawan, budayawan, akademikus, sejarawan, dan lainnya untuk mereka dapat naik ke tampuk kekuasaan.

Sementara ia yang memberanikan diri keluar dari goa adalah ia yang tidak puas dengan realita. Ia yang terus belajar mempertanyakan kenyataan. Ia yang resah dan terus memeriksa keadaan.

Teman-teman yang baik,

Cara kita melihat ke masa lalu membentuk cara pandang kita terhadap dunia (world view) hari ini. Saya berpikir, ketertarikan kita melihat ke masa lalu saja tidak cukup. Tetapi kita perlu dan penting memeriksa bagaimana sejarah kita diceritakan.  Seorang sastrawan, George Orwell, menulis sebuah novel politik yang bagus berjudul 1984. Ada sebuah kutipan di sana dan saya kira itu benar adanya. Who control the past control the future. Who control the present control the past. Mereka yang mengendalikan masa lalu, akan mengendalikan masa depan. Mereka yang mengendalikan masa sekarang akan mengontrol masa lalu/sejarah.

Cara kita memandang, cara kita berpikir, nilai-nilai yang kita anut, bahkan prioritas-prioritas kita tidak terlepas dari kendali kekuasaan. Jika kita melihat kembali bagaimana sejarah kita dibungkus, nyaris semua bertumpu pada sejarah mereka yang berkuasa ketimbang, misalnya, sejarah bagaimana orang-orang kecil diperlakukan. Bagaimana sejarah para korban dari kekuasaan yang korup. Bagaimana memori korban penindasan, bagaimana suara dan kehidupan mereka hari ini.

Cara kita melihat masa lalu seharusnya adalah cara yang membantu kita mempertajam kesadaran dalam melihat momen saat ini (present moment). Cara yang memberi kita pisau untuk membedah ‘kesadaran palsu’ bikinan kelas berkuasa melalui produk kebudayaan seperti buku, film, media, bahkan termasuk juga museum tempat di mana kita berada saat ini.

Bagaimana, misalnya, sejarah dapat membantu kita membaca krisis.  Aceh akhir-akhir ini meraih juara satu penderita sakit jiwa terbanyak se Indonesia. Peringkat atas dalam hal kemiskinan di Sumatera. Dan tingkat kekerasan meningkat tiga kali lipat untuk anak-anak dan perempuan. Adalah mengkhawatirkan jika dalam keadaan seperti ini kita justru terlarut dan terlelap dalam glorifikasi-glorifikasi masa lalu yang buntu dan melupakan kenyataan saat sekarang.

Teman-teman yang baik,

Sejujurnya, setiap kali saya mencoba bertamasya ke masa lalu, saya mendapati Aceh sebagai wilayah pelabuhan. Saya dapat membayangkan bagaimana budaya orang-orang pantai yang terbuka dan berinteraksi dengan siapa pun. Kita punya panglima perang dari Afrika, punya guru dari Ranir India, punya perdagangan dengan orang Eropa. Beberapa makanan kita seperti wajik dan teknik saring kopi dari Cina.

Bila kita rela dan mau memeriksa lebih jauh, setiap peradaban besar di dunia ini tidak lahir keagungan ras tunggal. Tetapi dibentuk oleh sumbangan pikiran dari kebudayaan lain yang dibawa melalui jalur perdagangan. Peradaban Islam yang pernah menghasilkan saintis sekaliber Aljabar, Ibnu Sina, Ar Razi, Ibnu Alhaytham dan lainnya disokong oleh pikiran dari peradaban Yunani, Persia dan India.

Aceh yang pernah maju bukanlah dibentuk oleh ilusi bangsa teuleubeh, tetapi dari fakta bahwa aceh adalah beranda tempat para tamu singgah, tempat interaksi dengan dunia luar terjadi. Ketika kita terperangkap dalam worldview yang melihat diri tunggal dan seakan-akan matahari berputar di tempat kita saja, di saat itulah kita telah berhenti belajar dan menjadi terpelanting beberapa puluh langkah ke belakang.

Aceh yang maju adalah Aceh yang memberi, Aceh yang punya terobosan dari ilmu pengetahuan dan produk akal budi yang dapat dinikmati tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk umat manusia. Individu Aceh yang hebat adalah ia yang bertindak melampaui dirinya sendiri dan menyadari diri sebagai bagian dari warga dunia. Dan yang paling penting dari itu semua adalah ia yang selalu berani mendobrak keluar dari ‘goa’.

Terimakasih!

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.