Surat Dari Gaza

Karya Ghassan Kanafani (Diterjemahkan oleh Putra Hidayatullah)

Serambi Indonesia (20 Juli 2014)

KAWANKU, Mustafa.

Aku telah menerima suratmu. Kau menulis bahwa kau telah melakukan apa yang perlu dilakukan agar aku bisa tinggal denganmu di Sacramento. Aku juga sudah menerima kabar bahwa aku diterima di jurusan Teknik Sipil di Universitas California. Aku harus berterimakasih padamu untuk semua ini, Kawanku. Tapi mungkin akan membuatmu sedikit terkejut ketika aku mengabarkan ini untukmu-dan jangan ragu akan itu. Aku tidak merasa bimbang sama sekali. Aku bahkan tidak pernah melihat kenyataan sejelas sekarang. Tidak, kawan, aku telah berubah pikiran. Aku tidak akan mengikutimu ke “tanah dimana ada tumbuhan yang hijau, air, dan wajah-wajah yang cantik” sebagaimana yang kamu tuliskan. Tidak, aku akan tetap di sini, dan aku tidak akan pernah pergi.

Aku sangat kecewa hidup kita tidak akan berada di jalan yang sama lagi, Mustafa. Aku masihdapat mendengarmu saat kau mengingatkanku pada janji yang telah kita sepakati bersama, dan kita selalu berteriak: “Kita akan jadi orang kaya!” Tapi tidak ada yang dapat akulakukan, kawanku. Ya, aku masih ingat hari ketika aku berdiri di bandara Kairo, menekan tanganmu dan menatap hiruk pikuk kenderaan. Pada saat itu semuanya berputar dalam waktu dengan suara motor yang memekakkan telinga, dan kau berdiri di depanku, wajahmu yang bulat terpaku. Continue reading

Hari-hari Terakhir

Gabriel García Márquez (Diterjemahkan oleh Putra Hidayatullah)
Image

SENIN yang memancarkan kehangatan dan tanpa hujan. Aurelio Escovar, seorang tukang gigi tanpa gelar dan rajin bangun pagi, membuka kantornya jam enam. Ia mengambil beberapa gigi palsu yang masih melekat pada cetakan plester, mengeluarkannya dari peti kaca, menaruh semua perkakas itu di atas meja dan disusunnya berurutan, seolah-olah sedang dipamer. Ia mengenakan kemeja garis-garis tak berkerah, yang lehernya tertutup kancing emas. Celananya terangkat ke atas oleh tali selempang. Tubuhnya tegak dan kurus, dengan tatapan yang nyaris tidak sesuai dengan keadaan, seperti tatapan orang yang tuli.

Ketika semuanya telah tersusun rapi di meja, dia menarik bor menghadap kursi dan duduk untuk memoles gigi palsu. Ia terlihat tidak memikirkan apa yang sedang ia lakukan, tapi bekerja terus, memompa bor dengan kakinya, bahkan saat ia tak perlu melakukan itu.

Ketika jam menunjukkan pukul delapan, ia berhenti sejenak untuk melihat langit melalui jendela. Ia melihat dua ekor elang yang sedang termenung berjemur di atap rumah tetangga depan rumahnya. Ia kembali melanjutkan kerja dengan firasat bahwa sebelum makan siang hujan akan turun. Suara nyaring anak laki-lakinya yang berusia sebelas tahun membuat konsentrasinya buyar.

“Ayah.”
“Apa?”
“Mayor mau  ayah mencabut giginya.”
“Bilang padanya aku tidak di tempat.”

Dia memoles sebuah gigi emas.  Ia rentangkan lengannya, dan memeriksa gigi itu dengan mata setengah tertutup. Anak laki-lakinya berteriak lagi dari ruang tunggu yang kecil.  “Dia bilang ayah ada, dia dapat mendengar suara ayah.”

Tukang gigi itu terus memeriksa gigi palsu. Setelah ia menaruhnya di atas meja dengan hasil sempurna ia berkata: “Baguslah!”

Ia menghidupkan bor lagi. Ia mengambil beberapa dari cetakan gigi tempat ia menyimpan gigi-gigi lain yang masih harus ia bereskan, dan ia mulai memoles gigi emas.

“Ayah”
“Apa?”

Dia masih tidak mengubah raut wajahnya. “Dia bilang kalau ayah tidak mencabut giginya, dia akan akan menembak ayah.”  Tanpa terburu-buru, dengan gerak yang sangat tenang, ia berhenti memompa bor, menyingkirkan bor gigi menjauh dari kursi, dan menarik laci meja paling bawah. Di sana ada sebuah revolver. “Baik,” ia berkata. “Katakan padanya: masuk dan  tembak aku.”
Ia memutar kursi hingga berhadapan dengan pintu. Tangannya diletakkan di ujung laci. Mayor itu tampak di pintu. Dia telah mencukur sisi kiri wajahnya, tapi di sisi lain, tampak bengkak dan kesakitan, ada jenggot yang sudah lima hari tak dipotong. Tukang gigi itu melihat malam-malam yang penuh  putus asa dari sorot matanya yang tumpul. Ia menutup laci dengan ujung jari dan berkata dengan dingin.

“Duduk”
“Selamat pagi,” Mayor itu berkata
“Pagi,” ucap tukang gigi.

Sambil menunggu perkakas direbus, Mayor menyandarkan kepala pada dudukan kursi pasien. Ia merasa sedikit lebih baik. Nafasnya dingin. Kantor itu tampak jelek. Sebuah kursi kayu tua, pedal bor,  kotak kaca dengan botol-botol keramik. Di arah depan kursi ada jendela dengan kain gorden setinggi bahu.  Ketika ia merasa tukang gigi itu mendekat, sang Mayor menekan tumit dan membuka mulutnya.

Aurelio Escovar menghadapkan wajahnya ke arah cahaya lampu. Setelah memeriksa gigi yang terinfeksi, dengan hati-hati ia menutup rahang Mayor dengan jemarinya.

“Tak bisa dibius,” ia berkata.
“Kenapa?”
“Karena ada bisul bernanah.”

Mayor itu menatap matanya. “Baik,” ia berkata, dan mencoba tersenyum. Tukang gigi itu tak membalas senyumnya. Ia membawa baskom berisi perkakas yang telah steril ke atas meja dan mengambilnya dengan penjepit yang dingin, masih tanpa terburu-buru. Kemudian ia mendorong tempolong dengan ujung sepatu, dan mencuci tangannya di wastafel. Ia melakukan semua ini tanpa melihat ke wajah Mayor. Tapi Mayor tak memindahkan mata menatapnya.

Kiranya sebuah gigi geraham bawah. Tukang gigi itu melebarkan kaki dan mencengkam gigi itu dengan gunting tang yang panas. Mayor mencengkeram pegangan kursi, menekan kakinya sekuat tenaga, dan merasa kehampaan yang dingin di ginjalnya, tapi tak mengeluarkan suara. Tukang gigi itu hanya menggerakkan pergelangan tangan. Tanpa rasa dendam, melainkan dengan kelembutan yang pahit, ia berkata:

“Sekarang kau akan membayar harga untuk dua puluh orang kami yang mati.”
Mayor merasakan kegentingan pada tulang rahangnya. Airmatanya menetes. Tapi dia tidak bernafas hingga ia merasa gigi benar-benar telah tercabut. Kemudian ia melihatnya melalui genangan air matanya. Rasanya aneh saat ia tahu bahwa dia gagal memahami siksaan lima malam sebelumnya.

Ia membungkuk ke arah tempolong, berkeringat, terengah-engah, ia membuka baju dan meraih sapu tangan di saku celananya. Dokter gigi itu memberinya sehelai kain bersih.

“Hapus air matamu,” ia berkata.

Mayor melakukannya. Ia menggigil. Sementara Tukang gigi mencuci tangannya, ia melihat langit-langit yang seakan-akan runtuh, dan sarang laba-laba berdebu, telurnya, dan serangga-serangga yang mati. Tukang gigi itu berbalik, mengeringkan tangannya. “Istirahatlah,” katanya. “Dan berkumur-kumur dengan air garam.” Mayor berdiri, mengucapkan selamat tinggal dengan hormat khas militer. Ia berjalan menuju pintu, merenggangkan kakinya, tanpa menutup habis jubahnya.

“Kirimkan tagihannya” ia berkata.
“Untukmu atau untuk kota ini?”

Mayor itu tidak memandangnya. Dia menutup pintu dan berkata di balik sekat:

“Itu sama jahanamnya!”

*Gabriel García Márquez adalah sastrawan, jurnalis dan aktivis politik kelahiran Aracataca, Kolombia. Dalam sastra ia dianggap pelopor aliran realisme magis. Pada 1982 ia meraih nobel bidang sastra. Cerpen ini diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris oleh Putra Hidayatullah, seorang penulis esai dan cerita pendek.

Continue reading

Tak Ada Gonggong Anjing

Cerpen | Juan Rulfo (Diterjemahkan oleh Putra Hidayatullah)

Dimuat di Serambi Indonesia, 28 November 2013

“Kau sudah di atas, Ignacio! Apa tak kau dengar sesuatu atau melihat cahaya?”

“Aku tak bisa melihat apa-apa.”

“Mestinya kita sudah dekat.”

“Iya. Tapi aku tak mendengar apa-apa.”

“Lihat lebih jeli lagi, Ignacio!”

Bayangan hitam dua laki-laki itu terus bergerak naik turun, mendaki bebatuan, hingga mencapai ujung tebing. Itu satu-satunya bayangan yang bergerak. Continue reading

Köhler

KohlerDimuat di Serambi Indonesia, 12 Mei 2013

       HARI menjelang sore. Jenderal Hermen Rudolf Kohler mendekati geladak. Laut biru selat malaka terhampar. Berkali-kali ombak bergulung menghantam badan kapal. Tak seperti perahu kayu, ini kapal perang modern. Bernama Citadel van Antwerpen, buah ilmu pengetahuan Eropa nan canggih. Jangankan oleng, goyah pun tak.

Dari saku celananya, Jenderal berkumis putih dan tebal itu mengeluarkan lipatan kertas: sebuah kalender kecil tahun 1873. Ia membulatkan angka 10 pada bulan April lalu mencatat sesuatu di bawahnya. Ia memasukkan kertas itu kembali ke saku. Ini hari pertama mereka berangkat dari pulau Jawa. Angin berhembus. Sepotong bendera Belanda berkibar-kibar di pucuk kapal. Continue reading

Tungang

Hom

Tabloid The Atjeh Times

Dimuat di Tabloid The Atjeh Times Edisi 47, 29 April – 5 Mei 2013

WAJAH Manyak berseri-seri. Bocah itu duduk di lantai. Sebelah lututnya menempel di dada. Teman-temannya duduk bersila, bersiap mendengar cerita. Manyak memakai celana pendek tanpa baju. Rambutnya acak-acakan. Kulitnya legam karena waktu kecil suka mandi di sungai. Di usianya yang keenam belas, ayahnya meninggal dunia karena penyakit ayan. Di bulan itu, ia meninggalkan kampung halaman. Ibunya mengantarnya ke sebuah panti asuhan.

Di panti asuhan ia bertemu dengan teman-teman baru. Manyak setahun lebih tua dari mereka. Manyak dan teman-temannya satu asrama dan bersekolah di sebuah SMA –  sepelemparan batu dari tempat mereka tinggal. Continue reading

Ayahku Koruptor

Cerpen Karya Putra Hidayatullah

Dimuat di http://www.bungong.com (17 Februari 2013)
Ayahku Koruptor

Beberapa minggu ini, aku sering duduk menopang dagu. Mataku menatap kaku ikan hias yang berkelibat dalam kolam kecil depan rumah. Halaman ditumbuhi rumput jepang yang dipotong rapi. Sebulan sekali tukang potong rumput datang ke rumah kami. Di samping teras berderet bunga kesukaan ibu.

Selang beberapa rumah, ada lapangan bola. Gawangnya dibuat dari batang bambu, tanpa jaring. Dari sana sayup terdengar suara teman-temanku berteriak-teriak dan tertawa. Mereka sedang bermain bola kaki. Sebenarnya aku tak lagi menganggap mereka teman. Terutama Nazir, anak laki-laki yang seharusnya sudah kelas enam. Tapi karena bandel, ia tinggal kelas dua kali.

Continue reading

Kamar Kakek

Kamar Kakek

 www.radarseni.com, 01 December 2012

Beberapa hari terakhir aku kerap membayangkan isi sebuah kamar. Gelap. Tak ada poster atau tulisan-tulisan dan baju bergantungan. Hanya Hening. Belum ada yang membuka pintunya sejak aku tinggal di sini. Sebuah rumah mirip kastil tua peninggalan Belanda. Warna putihnya sudah memudar. Setiap bagian pondasi kian dijalari lumut. Seolah ingin menghijaukan setiap sisi dindingnya. Rumput di halaman depan tumbuh serampangan menutupi kaki pagar beton.

Hari ini, penasaranku memuncak. Continue reading

Serambi Indonesia, 02 September 2012

Karya Putra Hidayatullah

“Teungku…” Dek Gam berlari tergopoh-gopoh memanggil Teungku Dahlan yang sedang berjalan di pematang. Teungku  tak menoleh. Pandangannya tersita pada padi yang kian mengering. Sawah-sawah membelah seperti ingin menelan apa saja. Lama hujan tak turun. Air dalam empang pun menghilang. Yang ada hanya taik cacing,  yang mungkin juga ikut kepanasan dalam tanah.

“Teungku!”  Teungku Dahlan menoleh ke belakang. Wajah Dek Gam penuh bulir keringat. Kerah bajunya ikut kuyup. Nafasnya terengah-engah. Dek Gam menyungging senyum getir. “Teungku dipanggil pak geusyik, sebentar lagi ada rapat di meunasah.”

“Rapat? Rapat apa? Ada yang tertangkap mesum lagi?” mata Teungku Dahlan terbelalak. Sudah beberapa kali rapat diadakan  karena ada pasangan yang tertangkap. Kalau tidak itu, tentu ada perkara lain semisal pencurian. “Bukan Teungku, karena kekeringan. Begitu kata pak geusyik. Katanya ada rencana mengadakan shalat Iqtisa.” Continue reading

Musim Kemarau

Polem Brahim

Sumber : Serambi Indonesia, 11 Maret 2012

Oleh Putra Hidayatullah

“Bertahanlah Ayah!” Aku berdiri di hadapan tubuh yang terbaring setengah kaku. Sesekali ia menatap dengan pandangan sayu, tak ada daya. Pembuluh oksigen masih melekat di hidungnya. Empat jam sekali perawat masuk mencatat sesuatu yang tak kuketahui. Terkadang memberi suntikan.

Ayah menggerakkan bola mata perlahan ke wajah kami satu per satu. Kami berdiri di sisi ranjang yang terbuat dari aluminium itu. Perban putih membalut kepalanya. Sudah 22 hari ia terbaring di rumah sakit ini, RSU Zainal Abidin. Penyakit yang sama hadir. Tahun lalu ibuku juga meninggal. Aku curiga. Jangan-jangan penyakit ini ingin membunuh anggota keluarga kami satu per satu. Continue reading